KESAN SURAT ABASA

Hubungan surat ‘Abasa dengan surat An-Nazi’at adalah: pada akhir surat An-Nazi’at diterangkan bahwa Nabi Muhammad SAW hanyalah pemberi peringatan kepada orang-orang yang takut kepada hari kiamat (79:45), sedangkan pada permulaan surat ‘Abasa dibayangkan bahwa dalam memberikan peringatan itu hendaklah memberikan penghargaan yang sama kepada orang-orang yang diberi peringatan dengan tidak memandang kedudukan seseorang dalam masyarakat
Tentang garis besar isi surat ‘Abasa, Asy-Syahid Sayyid Quthb berkomentar :
“Surat ini terbagi kedalam beberapa potongan (bagian) yang besar, sentuhan yang mendalam, image dan sugesti serta kesan-kesan yang unik, memberi inspirasi harmonis dalam irama dan nada musik yang sama. Potongan pertama merupakan obat dengan khasiat tertentu terhadap suatu peristiwa sejarah.
Nabi Muhammad SAW sibuk mengurusi da’wah, mengajak tokoh-tokoh Quraisy kedalam Islam ketika Ibnu Ummi Maktum, seorang laki-laki buta yang miskin itu, datang kepadanya. Laki-laki itu tidak tahu kalau Nabi sedang sibuk dengan urusan ummat. Ia datang memohon kepada Nabi agar mengajarinya ilmu agama. Maka Nabi tidak menyukainya dan bermuka masam serta memalingkan wajahnya. Allah menurunkan al-Qur’an pada bagian pertama surah ini mengecam keras akan sikap Nabi, serta menetapkan nilai kebenaran dalam kehidupan masyarakat Islam secara tegas merangsang, di samping itu juga menetapkan hakikat karakteristik da’wah ini (ayat 1 – 16).
Potongan kedua untuk mengobati keingkaran manusia, kekafiran dan kejahatannya terhadap Tuhannya. Allah mengingatkan kepada manusia siapa yang mewujudkan dirinya, asal kejadiannya, kemudahan hidupnya, kekuasaan Tuhannya untuk mematikan dan membangkitkannya kembali, kemudian kelalaiannya dalam melaksanakan perintahNya (ayat 17 – 23).
Potongan ketiga menyinggung tentang kecenderungan hati manusia terhadap kebutuhan hidupnya, yaitu makanan dan minumannya, serta makanan dan minuman binatang ternaknya. Di balik itu mengenai ketentuan serta kekuasaan Allah yang mengatur dan mengurus makanannya itu sebagaimana mengatur dan mengurus kejadian dirinya (ayat 24 – 32).
Potongan yang paling akhir menoleh kepada sifat “sangkakala” pada hari ditiupkan suaranya yang memakakkan telinga, dan menakutkan itu. Kata-katanya jelas seperti pengaruhnya yang nampak di dalam hati manusia yang kebingungan, lupa terhadap lainnya dan kepada wajah-wajah yang menunjukkan kedurhakaannya (ayat 33 – 42).
Masing-masing potongan surat ini dan ayat-ayatnya yang diketengahkan membangkitkan perasaan yang membekas di dalam jiwa.
Itulah di antara kekuatan dan kedalamannya, di mana hati dapat dipengaruhinya hanya dengan sekali sentuh saja. Di sini kami berusaha untuk menyingkapkan tentang beberapa aspek dari jangkauan yang jauh, yang kadang-kadang tidak dapat dicapai hanya dengan pandangan pertama.”
Langkah-langkah Operasional Da’wah
Dari sini Allah SWT memerintahkan kepada Rasulullah SAW untuk tidak memberi pengkhususan kepada seseorang dalam memberikan peringatan. Beliau harus bersikap sama dalam berhadapan dengan orang yang mulia dan lemah, terhadap fakir dan kaya, pembesar dan rakyat jelata, pria dan wanita, yang kecil dan besar. Allah SWT memberi petunjuk kepada yang Dia kehendaki kepada jalan yang memuaskan.

Para ulama da’wah mengarahkan kepada kita lima langkah operasional da’wah agar da’wah mencapai keberhasilannya yang gemilang, yaitu [4]:
o Komunikasi/kontak dengan berbagai individu (personal) atau    الإتّصال بالأفراد
o Pemilihan personal       (إختيارالأفراد)
o Pembinaan personal     (تربية الأفراد)
o Pengarahan personal   (توجيه الأفراد)
o Penataan personal (تنظيم الأفراد)
Ketika berkomunikasi, tidak dibatasi kepada siapapun, bahkan kepada non-muslim sekalipun kita lakukan komunikasi. Akan tetapi, ketika kita melakukan pemilihan personal maka kriteria pertama dan utamanya adalah “mau menerima perubahan (قابل التغيير) atau hanif”, baru kriteria “sebagai unsur perubahan (عناصر التغيير) atau tokoh”. Abdullah bin Ummi Maktum, mungkin dipandang sebelah mata oleh umumnya para da’i, karena beliau buta (ayat 1): tidak potensial! Tetapi beliau adalah seorang yang mau menerima perubahan:
 Datang sendiri (ayat 2)
 Datang dengan bersegera (ayat 8)
 Ingin membersihkan dirinya dari dosa (ayat 3)
 Ingin mendapatkan pengajaran, sehingga bisa menjauhkan dirinya dari perbuatan haram (ayat 4)
 Takut kepada Allah, mengikuti petunjuk (ayat 9)
Sedangkan para tokoh Quraisy itu:
 Merasa dirinya sudah cukup dengan harta dan kekuasaannya (ayat 5)

Di kemudian hari, katika Perang Uhud, beliau SAW menempatkan Ibnu Ummi Maktum sebagai penanggung jawab kota Madinah terutama sebagai imam shalat jama’ah [5], juga sebagai muadzin di samping Bilal. Rasulullah SAW bersabda, “Jika Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari maka makanlah dan minumlah kalian hingga mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum” (HR. Bukhori). Salim berkata: ia tidak mengumandangkan adzan hingga orang-orang melihat terbitnya fajar lalu mereka berkata kepadanya adzan-lah.

3. Al-Qur’an sebagai Peringatan
Sikap lebih mengutamakan tokoh dan melupakan “orang rendahan” adalah terlarang (ayat 11). Karena sesungguhnya al-Qur’an itu peringatan untuk siapa saja. Siapa yang menghendaki, tentulah ia akan memperhatikan al-Qur’an (ayat 11-12). Al-Qur’an adalah:
 Lembaran-lembaran yang dimuliakan (ayat 13)
 Yang ditinggikan, memiliki derajat yang tinggi (ayat 14)
 Yang disucikan, terhindar dari cacat, penambahan dan pengurangan (ayat 14)
 Di tangan safarah (ayat 15):
o Para malaikat (Ibnu Abbas, Mujahid, Adh-Dhahhak dan Ibnu Zaid)
o Para sahabat Nabi SAW (Wahhab bin Munabih)
o Para penghafal al-Qur’an (Qatadah), yang menulis di dalam hati mereka (Ibnu Abbas dan Ibnu Jarir)
o Para malaikat yang menghubungkan Allah dengan makhlukNya (Ibnu Jarir dan Al-Bukhari). Dari sinilah terambil kata “as-safir” yang berarti duta (utusan) yang berusaha menjembatani hubungan antara manusia untuk kebaikan dan kedamaian
Akhlak safarah itu mulia dan berbakti (ayat 16): maka selayaknya para penghafal al-Qur’an itu bersikap baik dan menjadi teladan dalam kata-kata serta perbuatan mereka. Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang membaca al-Qur’an dan ia mahir, maka ia akan bersama malaikat yang mulia lagi berbakti, dan orang yang membaca al-Qur’an sementara ia mendapatkan kesulitan, maka baginya dua pahala.” (HR. Jama’ah). Siapakah orang yang “mahir” itu? Ustadz Yusuf Supendi [6] menyebutkan kriterianya:
o Membaca al-Qur’an dengan kaidah Tajwid
o Mengerti dan faham isi kandungan al-Qur’an
o Mengamalkan kandungan al-Qur’an
o Hafal al-Qur’an 30 juz

Leave a comment